KUPETIK BINTANG LEWAT SEBA
Oleh : Farhan Rangkuti.
Oleh : Farhan Rangkuti.
Asli Buah karya anak negeri Sampuraga cerita ini hanya bersipat menghibur dan tidak ada maksud untuk menyinggung.
Hari masih terlalu pagi. Dingin menguasai sekelilingku. hari ini tepatnya tgl 20 bulan juni. Aku testing perdana di Polres yakni tes Parade ( peragaan ). Aku tiba di tempat pas pukul 07.00 Wib. Para Casis disuruh kumpul dan membentuk barisan masing – masing. Dengan sekuat tenaga, aku berjuang menentang penjajahan yang ada didalam perutku. Itulah tuntutan cacing – cacing yang gak punya pikiran dan perasaan. Mereka melakukan aksi unjuk rasa dengan agenda tuntutan yakni mengenai permintaan jatah makan pagi yang belum terealisasikan akibat kesibukan pimpinan.
“ Lapor…….
Nama…….
Nomor casis…….
Pendidikan terahir…….
Keahlian…….
Laporan selesai.”
Setelah laporan selesai, panitapun mengomandokan hadap kiri dan maju jalan! Dengan berakhirnya aba – aba tersebut, regu kamipun meninggalkan tempat seraya turun dengan tertib lewat anak tangga. Aku tak kuasa memendangi panitia. Tapi sesekali aku berusaha mencuri pandangan lewat lirikan sengit yang sangat mendebarkan itu. Tibalah giliranku, hatiku semakin tak menentu dan jiwaku seakan terasa mau lepas.
Kuelus dadaku dengan dentuman oksigen yang berlalu lalang lewat jalur pernapasanku. Sekan – akan jalur itu terasa kecil untuk menampung sejumlah udara yang antrian lewat terowogan itu. Pandanganku tiba – tiba saja mnengabut disela – sela perjuanganku. Hatiku runtuh seketika, grogi dan akhirnya kesalahan teknispuntak dapat dielakkan lagi.
“ Ya tuhan, diakah Ibu Diana yang pernah bersamaku itu? Atau……. Hanya kebetulan mirip saja? Tidak mungkin. Aku bertanya – tanya dalam hatiku. Kucoba menperjelasnya dengan melebarkan sayap pandanganku. Kuraih mouse dengan mengklik file memori ingatanku. Berkat teknologi mutahir yang canggih, arsip dalam dokumen itu masih jelas dan utuh tampak pada layar monitor ingatanku.
Dia memang benar – benar Kapten Diana yang kukenal. Senyumnya yang ramah tetap mengembang diwajahnya dan membuat aku tambah semangat. Dia memang sosok Polwan yang sangat baik, ramah dan patut diacungin jempol. Sikapnya yang baik dan ramah membantuku dapat mengaburkan rasa kecemasanku. Sejuta harapan dan pembekalan dialirkan melalui celah – celah kecil yang bisa kutampungdan akhirnya terbendung dalam diriku.
Aku berlari memohon bantuan dan erlindungan. Kuadukan semuanya apa yang tengah aku hadapi saat ini. Didalam Mesjid yang ada di komplek Polres Simalungun. Kuserahkan diriku pada Illahi Robbi. Sholat adalah hal yang amat penting bagiku dan tidak boleh dilalaikan. Dengan bernaung dan berdo’a secara khusu’ didalamnya aku meminta. Semoga tuhan mengabulkan do’aku, amie……n seraya menutup do’a.
Saat yang ditunggu – tunggu sekaligus mendebarkan itupun tiba juga. Malam semakin larut, cuacapun semakin tak menentu. Cahaya malampun kian hitam dan mengabut. Akan tetapi disi lain kehangatan tetap terjaga dengan ketat.” Mudah - mudahan saja perjuanganku tidak berakhir sampai disini.” Pintaku dalam hati. Suasana semakin mendebarkan disaat detik – detik penentuan. Dunia memang sangat kejam dan menyiksa, tak mengenal arti perasaan dan keadaan.
Putih bukan berarti polos, hitam dengan putih nyaris tak dapat dibedakan lagi. Aku diajari tuk menyintai dan bukan untuk dicintai.” Alhamdulillah, nomorku masuk.” Gumamku. Sudah semestinya kita bersyukur. Tapi itulah kenyataannya. Aku memang tidak bisa memungkiri dan mendustai kata hatiku. Soalnya aku sendiri adalah termasuk titipan dan semua nomor titipan sudah barang tentu diprioritaskan apalagi ditingkat polres.
Dunia memang sadis dan kejam. Jasa Tiki banyak bermunculan. Tidak sedikit orang yang menggunakan jasa ini. Banyak kertas – kertas dengan dibubuhi materai masuk kantong panitia. Itulah yang selayaknya untuk dipertimbangkan kelolosannya. Ya tidak salah lagi dengan garis katulistiwanya yakni SUMUT ( semua urusan musti uang tunai ).
Siang yang terik menghiasi suasana disekelilingku. Hari itu adalah rabu tepatnya tanggal 23 Juni. Kami merasakan perbedaan alam dari biasanya. “ khadafi, kita nyantai aja yah. Slow aja gak usah ngebut, biar kita bisa tetap dalam kondisi stabil. “ kata Jackson dengan nada ajakannya.” Iya, lagiankan sesame friend kita musti tetap kompak dan kebersamaan harus selalu dipelihara. Jawabku dengan spontan. Tapi hatiku malah berlawanan dengan apa yang telah baru kuucapkan itu.
Dia memang teman yang sangat setia yang pernah kukenal. Kami tinggal satu atap dalam sebuah istana yang megah dan indah. Karena kenyamanannya membuat kita betah tinggal didalamnya. Suasana yang pengap dan bau menjadi fanorama keindahan di dalam kamar ditambah lagi dengan hiasan dinding yakni pakaian yang berbaris di dinding menjadi cirri khasanah budaya di sekeliling kami. Aku sangat terpesona ketika baru pertama kalinya menyaksikan secara langsung dengan kasat mata tentang tatanan arsitektur kamar yang gak karuan itu.lama – kelamaan kami bisa beradaptasi didalamnya, itupun hanya tuk meraih bintang kehormatan yakni lewat seba.
Beberapa tes di Jasmani telah terlewati dengan penuh perjuangan. Cucuran keringat mengalir deras ditubuhku. Kali ini benar – benar matahari tidak mau diajak tuk kompromi sehingga elektrolit dalam tubuhku berkurang akibat banyaknya mengeluarkan cairan dan serasa dipanggang dekat api. Aku hanya bisa pasrah pada keputusan panitia dalam pengumuman dan sesekali aku berdo’a memohon bantuan dan petunjuknya demi kelancaran tuk meraih bintang yang sangat diperebutkan itu.
Berkat semangat yang membaradan izin dari yang kuasa aku bisa meraih bahkan melewati dari targetku yang sangat kucemaskan dari sebelumnya. Cukup melelahkan memang tuk menghadapi semuanya tapi aku berfokus hanya untuk memetik bintang dank an kubawa kea lam bebas demi keinginan kedua orang tuaku dan saudaraku tentunya.
“ Kadafi ayo turun! Kita udah nyampe.” Kata mamangku ( tulang ). Aku sangat terkejut melihat spanduk yang tertera di depanku. Hari masih sangat terlalu pagi. Dating lebih awal dengan harapan menjemput nasib yang baik pula. Perlahan – lahankuayunkan langkahku. Akhirnya sampai juga pada daerah tujuan yaitu kota Medan sebagai Ibu kota Propinsi Sumatera Utara sasaran utamaku adalah SPN Sampali di jalan bilal ujung.
Sehelai kain panjang warna kuning dengan goresan tinta hitam menyambutku dengan penuh kecurigaan. Itupun hanya sekedar symbol yang terlalu penting sebagai syarat utama untuk memuluskan jalan yang bergelombang dan sebagai jembatan untuk melewati lembah dan jurang menuju puncak haarapan yaitu meraih bintang itu.
Suasana tampak semakin indah dan lebih menjanjikan. Keyakinan ku tuk dapat menikmati keceriaan suasana yang sedang terjalin. Hamparan bunga indah bermekaran dengan nilai nominal yang relatif berkelas dan bersaing. Bintangpun gemerlapan bertaburan bersatu padu saling mengisi dan serasa suasana semakin akrapmplit terjaga.
Aku hanya bisa menahan rintihan dan memendam air mata setelah memahami dan dapat membaca situasi. Aku tak kuasa menerjemahkan sebcara mendetail dan hanya bisa memohon padanya.” Mudah – mudahan aja aku bisa melewati masa – masa Pelengseran ini ” pintaku dalam hati. Jadwal yang sudah ditentukan sudah beberapa kali kendor sehingga kadar kemurniannya tak terjaga.
Mungkin saja karena perputaran nilai Valas yang tidak menentu. Bukan hanya aku sendiri tapi yang lainpun merasa kesal dengan keadaan ini. Sebelum acara pengumuman tiba suasana semakin hot dansekaligus mendebarkan. Volling dukunganpun banyak masuk, siapa yang memberikan Volling tertinggi dialah yang jadi pemenang dan sebaliknya yang memberikan Volling sedikit atau tidak ada sama sekali, keberadaan posisinya sangat dikhawatirkan dan bisa – bisa terlengser.
Detak jantungku semakin cepat dan pikiranku semakin tak menentu. Sinar bintang yang ada di hadapanku tiba –tiba saja luput dari pandanganku dan bunga yang dulunya kulihat mekar, tumbuh subur kini layu dan bukan tanpa sebab. Air mataku tumpah dengan sia – sia ketika mengetahui bahwa aku ikut bersama orang – orang yang terlengser.
Aku tak bisa mendengarkan apa – apa lagi setelah suara panitia menyambar telingaku. Seakan aku tak percaya tapi akhirnya aku harus merelakannya. Akupun pulang dengan tangan hampa. Niat hatiku tuk mendapatkan bintang tapi sinarnya keburu disambar orang. Hatiku semakin gelap bersama luputnya sinar dari sisiku. Hanya malam yang bisa jadi saksi, dialah yang lebih tau semuanya apa yang melandaku saat ini.
Esok matahari pasti akan terbit dan membawa sinar bintang kehadapanku yaitu dengan lewat SEBA ( Sekolah Bintara ) mendatang sebagai jembatanku. Selama mentari masih bersinar, selama itu pulalah jiwaku berjuang dan tidak akan mengalah serta menyerah sebelum sinar itu berada dipundakku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar